UNIVERSITAS GUNADARMA
FAKULTAS ILMU KOMPUTER DAN TEKNOLOGI INFORMASI
“KASUS INTERNASIONAL”
Disusun
Oleh:
Nama : Khoiruddin Magribi
NPM : 15114868
Jurusan : Sistem Informasi
Dosen : Aulliya Ar Rahma
“ILMU SOSIAL DASAR”
Analisis Kasus Pembantaian Sabra dan
Shatila pada bulan September 1982, di Beirut, Lebanon
Pembantaian Sabra dan Shatila/Chatila terjadi pada September 1982, di
Beirut, Lebanon yang saat itu diduduki oleh Israel. Pembantaian ini dilakukan
oleh para milisi Kristen Maronit Lebanon atas para pengungsi Palestina di
kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila. Pasukan-pasukan Maronit berada langsung
di bawah komando Elie Hobeika yang belakangan menjadi anggota parlemen Lebanon,
dan pada tahun 1990-an juga menjadi seorang menteri di kabinet Lebanon.
Sepanjang peristiwa ini, kamp-kamp ini dikepung oleh tentara-tentara
Israel, dan para milisi itu dikirim oleh Israel untuk mencari anggota-anggota
PLO. Sejauh mana Israel bersalah dalam pembantaian ini banyak diperdebatkan,
dan Israel menyangkal bahwa pihaknya bertanggungjawab langsung. Namun
temuan-temuan membuktikan bahwa orang-orang Israel, antara lain Ariel Sharon,
secara tidak langsung bertanggungjawab.
Sejak 1975 hingga 1990, Lebanon terlibat dalam perang saudara antara kelompok-kelompok
yang bersaingan, dan didukung oleh sejumlah negara tetangga. Orang-orang
Kristen Maronit, yang dipimpin oleh partai Falangis dan milisi, mula-mula
bersekutu dengan Suriah, dan kemudian dengan Israel, yang mendukung mereka
dengan senjata dan latihan untuk memerangi fraksi PLO (Organisasi Pembebasan
Palestina). Sementara itu, fraksi-fraksi yang lainnya bersekutu dengan Suriah,
Iran dan negara-negara lain di wilayah itu. Selain itu, sejak 1978 Israel telah
melatih, mempersenjatai, memasok dan menyediakan seragam bagi Tentara Kristen
Lebanon Selatan, yang dipimpin oleh Saad Haddad.
Pertempuran dan pembantaian antara kelompok-kelompok ini mengakibatkan
korban hingga ribuan orang. Beberapa pembantaian yang terjadi selama periode
ini termasuk Pembantaian Karantina (Januari 1976) oleh pihak Falangis terhadap
para pengungsi Palestina, pembantaian Damour (Januari 1976) oleh PLO terhadap
orang-orang Maronit dan Pembantaian Tel el-Zaatar (Agustus 1976) oleh Falangis
terhadap pengungsi-pengungsi Palestina. Dua penyerbuan besar atas Lebanon oleh
Israel (1978 dan 1982) mengakibatkan tewasnya 20.000 orang, kebanyakan kaum
sipil Lebanon dan Palestina. Jumlah keseluruhan korban di Lebanon selama masa
perang saudara ini diperkirakan sampai 100.000 orang.
Sabra adalah nama dari sebuah pemukiman miskin di pinggiran selatan Beirut
Barat, yang bersebelahan dengan kamp pengungsi UNRWA Shatila yang dibangun
untuk para pengungsi Palestina pada 1949. Selama bertahun-tahun penduduk dari
kedua wilayah ini menjadi semakin bercampur, sehingga istilah "kamp Sabra
dan Shatila" menjadi biasa. Penduduknya membengkak oleh karena
pengungsi-pengungsi Palestina dan Syi'ah dari selatan yang melarinkan diri dari
perang.
PLO telah menggunakan Lebanon selatan sebagai pangkalan untuk
penyerangan-penyerangan mereka atas Israel, dan sebagai balasan Israel
mengebomi posisi-posisi di Lebanon selatan. Upaya-upaya pembunuhan atas Duta
besar Israel, Shlomo Argov di London pada 4 Juni menjadi sebuah alasan
peperangan (meskipun pada akhirnya ternyata ini dilakukan oleh sebuah kelompok
yang memusuhi PLO, Abu Nidal) dan mengubah saling permusuhan ini menjadi perang
besar-besaran. Pada 6 Juni 1982, Israel menyerang Lebanon dengan 60.000 pasukan
dalam suatu tindakan yang dikutuk oleh Dewan Keamanan PBB. Dua bulan kemudian,
di bawah suatu kesepakatan gencatan senjata yang disponsori AS yang
ditandatangani pada akhir Agustus, PLO setuju untuk menyerahkan Lebanon kepada
pengawasan internasional, dan Israel setuju untuk tidak menyerang lebih jauh ke
Beirut, dan menjamin keamanan warga sipil Palestina yang tertinggal di
kamp-kamp pengungsi.
Pada 23 Agustus 1982, Bachir Gemayel, yang sangat populer di antara kaum
Maronit, terpilih menjadi Presiden Lebanon oleh Dewan Nasional. Israel telah
mengandalkan Gemayel dan pasukan-pasukannya sebagai suatu kekuatan tandingan
terhadap PLO.
Pada 1 September, evakuasi para pejuang PLO dari Beirut selesai. Dua hari
kemudian, Israel mengerahkan angkatan bersenjatanya di sekitar kamp-kamp
pengungsi. Hal ini jelas merupakan pelanggaran atas kesepakatan gencatan
senjata, tetapi Israel tidak diminta mengundurkan diri oleh tentara-tentara
pengawas internasional yang mengawasi penarikan mundur PLO dan menjamin
keamanan para pengungsi Palestinayang tertinggal pada 11 September, setelah
penarikan yang lebih awal dari pasukan-pasukan AS.
Hari berikutnya Ariel Sharon, menteri pertahanan Israel pada waktu itu,
mengklaim bahwa 2.000 pejuang PLO masih berada di Beirut. Klaim ini dibantah
oleh pihak Palestina. Perdana Menteri Israel Menachem Begin membawa Gemayel ke
Nahariya dan dengan keras mendesaknya untuk menandatangani perjanjian damai
dengan Israel. Menurut sejumlah sumber, ia pun menuntut diterimanya kehadiran
militer di Lebanon selatan di bawah pengawasan Mayor Saad Haddad (seorang
pendukung Israel), dan tindakan dari Gemayel untuk memindahkan para pejuang
Palestina yang menurut Israel masih bersembunyi di kamp-kamp pengungsi,
termasuk Sabra dan Shatila.
Namun, kaum Falangis, yang sebelumnya bersatu sebagai sekutu Israel yang
dapat diandalkan, kini terpecah karena berkembangnya aliansi dengan Suriah,
yang menentang Israel. Gemayel kini harus mengimbangi kepentingan-kepentingan
dari banyak fraksi yang bersaing di Lebanon. Selain itu, menurut sejumlah
laporan saksi mata, ia secara pribadi merasa tersinggung atas apa yang
dilihatnya sebagai sikap yang sok dari Begin atas dirinya. Ia menolak
tuntutan-tuntutan Israel untuk menandatangani perjanjian itu ataupun memberikan
kuasa untuk dilakukannya operasi militer di kamp-kamp pengungsi.
Pada 14 September 1982, Gemayel dibunuh dalam sebuah ledakan hebat yang
menghancurkan markas besarnya. Para pemimpin Palestina dan Muslim menyangkal
bahwa mereka bertanggung jawab. Namun Ariel Sharon mempersalahkan orang-orang
Palesina, sehingga membangkitkan kemarahan kaum Falangis terhadap mereka.
Hari berikutnya, 15 September, tentara Israel menduduki kembali Beirut
Barat, membunuh 88 orang dan melukai 254 orang. Tindakan Israel ini melanggar
perjanjiannya dengan AS untuk tidak menduduki Beirut Barat. AS pun telah
memberikan jaminan tertulis bahwa AS akan menjamin perlindungan warga Muslim di
Beirut Barat. Pendudukan Israel juga melanggar perjanjian perdamaiannya dengan
tentara-tentara Muslim di Beirut dan dengan Suriah.
Menachem Begin membenarkan pendudukan Israel sebagai "hal yang perlu
untuk mencegah langkah-langkah balasan oleh orang-orang Kristen terhadap orang
Palestina" dan untuk "menjaga keamanan dan kestabilan setelah
pembunuhan Gemayel." Namun, beberapa hari kemudian, Sharon mengatakan
kepada Knesset, parlemen Israel: "Masuknya kita ke Beirut Barat
dimaksudkan untuk memerangi infrastruktur yang ditinggalkan oleh para
teroris."
Tentara Israel kemudian melucuti senjata para milisi yang tidak pro Israel
maupun warga sipil di Beirut Barat, semampu mereka, sementara membiarkan para
milisi Falangis Kristen di Beirut Timur tetap bersenjata lengkap.
Ariel Sharon kemudian mengundang satuan-satuan milisi Falangis Lebanon
untuk memasuki kamp-kamp pengungsi Sabra dan Shatila untuk membersihkannya dari
para teroris. Di bawah rencana Israel, tentara-tentara Israel akan mengontrol
daerah sekeliling kamp-kamp pengungsian itu dan memberikan dukungan logistik
sementara milisi Falangis memasuki kamp-kamp itu, mencari para pejuang PLO dan menyerahkannya
kepada pasukan-pasukan Israel.
Namun pada akhirnya tidak seorangpun yang diserahkan kepada pasukan-pasukan
Israel. Tak ada pertempuran ataupun senjata yang ditemukan di kamp-kamp itu.
Dokumen-dokumen yang diajukan kepada tuntutan atas kejahatan-kejahatan perang
di Belgia terhadap Ariel Sharon konon memperlihatkan bahwa kalim mengenai
kehadiran para pejuang PLO di kamp-kamp itu hanyalah sebuah cerita rekaan yang
disiapkan oleh Israel.
Perintah Sharon kepada para milisi Falangis menekankan bahwa militer Israel
berkuasa atas seluruh pasukan di daerah itu. Militer Israel telah sepenuhnya
mengepung dan menyegel kamp-kamp itu dan mendirikan pos-pos pengintaian di atap
gedung-gedung tinggi di sekitarnya pada 15 September. Hari berikutnya Israel mengumumkan
bahwa mereka telah mengendalikan semua posisi penting di Beirut. Militer Israel
bertemu sepanjang hari dengan pucuk pimpinan Falangis untuk mengatur rincian
operasi. Selama dua malam berikutnya, sejak senja hingga larut malam, militer
Israel menembakkan cahaya-cahaya suar di atas kamp-kamp itu.
Pada malam 16 September, 1982, para milisi Falangis di bawah komando Elie
Hobeika, memasuki kamp-kamp itu. Selama 36 hingga 48 jam berikutnya, para
milisi Falangis membantai para penghuni kamp pengungsian itu, sementara militer
Israel menjaga pintu-pintu keluar dan terus-menerus menembakkan suar di malam
hari.
Sebuah satuan yang terdiri atas 150 milisi Falangis (termasuk sejumlah
pasukan SLA, menurut Saad Haddad, seperti yang dikutip oleh Robert Fisk, dan
juga sumber-sumber lainnya) dikumpulkan pada pk. 4 sore. Para milisi ini
dipersenjatai dengan senapan, pisau, dan kapak dan memasuki kamp-kamp itu pada
pk. 18.00. Seorang perwira Falangis melaporkan 300 pembunuhan, termasuk korban
sipil, kepada pos komando Israel pada pk. 20.00, dan lebih jauh melaporkan
bahwa pembunuhan-pembunuhan ini berlanjut sepanjang malam. Sebagian dari
laporan-laporan ini diteruskan kepada pemerintah Israel di Yerusalem, dan
dibaca oleh sejumlah pejabat senior Israel. Pada satu kesempatan, seorang
anggota milisi mengirimkan lewat berita pertanyaan kepada komandannya Hobeika
tentang apa yang harus dilakukannya dengan kaum perempuan dan anak-anak di kamp
pengungsian itu, dan terdengar oleh seorang perwira Israel yang mendengar jawaban
Hobeika bahwa “Ini adalah kali terakhir anda mengajukan pertanyaan seperti itu
kepada saya, anda tahu benar apa yang harus dilakukan.” Para tentara Falangis
kedengaran tertawa di belakang.
Sang perwira Israel melaporkan hal ini kepada atasannya, Jenderal Yaron,
yang memperingatkan Hobeika agar tidak melukai warga sipil, tetapi tidak
mengambil langkah lebih jauh. Letnan Avi Grabowsky dikutip oleh Komisi Kahan
bahwa ia melihat (pada hari Jumat itu) pembunuhan atas lima orang perempuan dan
anak-anak. Ia berbicara kepada komandan batalyonnya tentang hal ini; ia
menjawab “Kita tahu, memang kita tidak menyukainya, dan kita tidak ikut
campur.” Pasukan-pasukan Israel yang mengepung kamp-kamp itu bermasa bodoh
terhadap para pengungsi yang melarikan diri dari pembantaian itu, seperti yang
difilmkan oleh seorang kamerawan Visnews.
Para milisi Falangis secara teratur kembali ke satuan-satuan Israel dan
diberikan makanan, air, dan amunisi selama pembantaian itu berlangsung.
Belakangan sore itu, terjadilah rapat antara Kepala Staf Israel dengan staf
Falangis. Menurut laporan Komisi Kahan (berdasarkan laporan seorang agen
Mossad), Kepala Staf itu menyimpulkan bahwa kaum Falangis harus “melanjutkan
aksi, menyapu bersih kamp-kamp yang kosong di selatan Fakahani sampai besok
pukul 5 pagi; pada saat itu mereka harus menghentikan aksi mereka karena adanya
tekanan dari Amerika. Ia mengklaim bahwa ia “tidak merasa bahwa sesuatu yang
tidak lazim telah terjadi atau akan terjadi di kamp-kamp itu.” Pada rapat itu,
ia pun setuju untuk memberikan milisi itu sebuah buldozer, yang konon
dimaksudkan untuk merubuhkan bangunan-bangunan.
Pada hari Jumat, 18 September, sementara kamp-kamp itu masih disegel,
beberapa pengamat independen berhasil masuk. Di antara mereka adalah seorang wartawan
Norwegia, diplomat Norwegia, Ane-Karine Arvesen, yang mengamati kaum Falangis
pada operasi-operasi pembersihan mereka, yang menyingkirkan mayat-mayat dari
rumah-rumah yang dihancurkan di kamp Shatila.”
Pasukan-pasukan Falangis tidak meninggalkan kamp-kamp itu pada pukul 05.00
pagi hari Sabtu, seperti yang diperintahkan. Mereka memaksa mereka yang masih
tersisa untuk berbaris keluar dari kamp, dan secara acak membunuhi mereka,
sementara yang lainnya dikirim ke stadion untuk diinterogasi. Hal ini berlangsung
sehari penuh. Milisi akhirnya meninggalkan kamp pada pukul 08.00 pagi pada 18
September. Wartawan-wartawan asing pertama yang diizinkan masuk ke kamp pada
pukul 09.00 pagi menemukan ratusan jenazah yang berserakan di seluruh kamp itu,
banyak di antaranya yang terpotong-potong. Berita resmi pertama tentang
pembantaian ini disiarkan sekitar tengah hari.
Jumlah korban sebenarnya diperdebatkan. Ada kesepakatan umum bahwa jumlah
yang pasti sulit ditentukan, karena kondisi yang kacau pada saat dan setelah
pembantaian, penguburan, dan penghitungan awal para korban. Selain itu, malah
ini juga sangat sensitif secara politis bahkan hingga hari ini. Diperkirakan
bahwa sekurang-kurangnya seperempat dari para korban adalah orang Lebanon dan
sisanya Palestina. Berikut ini adalah klaim-klaim utama yang disusun
berdasarkan jumlah korban:
1. Surat dari kepala utusan Palang Merah kepada Menteri Pertahanan Lebanon, yang dikutip dalam laporan Komisi Kahan sebagai "bukti 153", menyatakan bahwa wakil-wakil Palang Merah telah menghitung 328 mayat; tetapi komisi ini mencatat bahwa "namun demikian angka ini tidak mencakup semua mayat..."
2. Komisi Kahan mengatakan bahwa, menurut "sebuah dokumen yang tiba di tangan kami (bukti 151), jumlah korban keseluruhan yang tubuhnya ditemukan sejak 18.9.82 hingga 30.9.82 adalah 460". Komisi ini mengklaim bahwa angka ini terdiri dari "jumlah mayat yang dihitung oleh Palang Merah Lebanon, Palang Merah Internasional, Pertahanan Sipil Lebanon, korps medis dari tentara Lebaon, dan oleh keluarga para korban."
3. Angka yang diberikan Israel, berdasarkan intelijen Angkatan Pertahanan Israel (IDF), menyebutkan 700-800 mayat. Menurut pandangan Komisi Kahan, "ini mungkin sekali angka yang paling dekat dengan realitas."
4. Menurut BBC, "sekurang-kurangnya 800" orang Palestina meninggal.
5. Bayan Nuwayhed al-Hout dalam bukunya Sabra and Shatila: September 1982 (Pluto, 2004) menyebutkan jumlah minimum 1.300 nama korban berdasarkan perbandingan terinci dari 17 daftar korban dan bukti-bukti pendukung lainnya dan memperkirakan jumlah yang bahkan lebih tinggi lagi.
6. Robert Fisk, salah seorang wartawan pertama yang mengunjungi tempat kejadian, mengutip (tanpa membenarkan) para perwira Falangis yang mengatakan bahwa "2.000 'teroris' -perempuan maupun laki-laki- telah terbunuh di Chatila." Bulan Sabit Merah Palestina menyebutkan angka lebih dari 2.000 orang.
7. Dalam bukunya yang diterbitkan segera setelah pembantaian itu, wartawan Israel, Amnon Kapeliouk dari Le Monde Diplomatique, menyimpulkan sekitar 2.000 jenazah yang disingkirkan setelah pembantaian itu menurut sumber-sumber resmi dan Palang Merah dan "perkiraan yang kasar sekali" menduga 1.000-1.500 korban lainnya yang disingirkan oleh para Falangis itu sendiri. Angka keseluruhannya yaitu 3.000-3.500 ini yang sering dikutip oleh orang Palestina.
Pembantaian ini membangkitkan kemarahan di seluruh dunia. Pada 16 Desember
1982, Sidang Umum PBB mengutuk pembantaian ini dan menyatakannya sebagai suatu
tindakan genosida. Namun tidak ada tindakan, baik nasional maupun
internasional, yang dilakukan terhadap komandan Falangis, Elie Hobeika, yang
terbunuh oleh sebuah bom di Beirut pada 2002.
Dalam pernyataan-pernyataan awalnya, pemerintah Israel mula-mula menyatakan
bahwa para kritikus yang menganggap bahwa Pasukan Bela Diri Israel (IDF)
bertanggungjawab atas kejadian-kejadian di Sabra dan Shatila telah melakukan
"tuduhan berdarah terhadap negara Yahudi dan pemerintahnya". Namun
demikian, sementara berita tentang pembantaian itu menyebar ke seluruh dunia,
kontroversi itu makin berkembang dan pada 25 September, 300.000 orang Israel
berdemonstrasi di Tel Aviv menuntut jawaban.
Pada 28 September, pemerintah Israel memutuskan untuk membentuk sebuah
Komisi Penyelidik, yang dipimpin oleh bekas Hakim Agung Kahan. Laporan itu
mencakup bukti-bukti dari para personil pasukan Israel, maupun para tokoh
politik dan perwira Falangis. Dalam laporan itu, yang diterbitkan pada musim
semi 1983, Komisi Kahan menyatakanb bahwa tidak terbukti bahwa satuan-satuan
Israel ikut serta langsung dalam pembantaian itu dan bahwa semua itu adalah
"tanggung jawab langsung kaum Falangis." Namun demikian, Komisi itu
mencatat pula bahwa personil militer Israel sadar bahwa pembantaian itu
berlangsung tanpa mengambil langkah-langkah serius untuk menghentikannya, dan
bahwa laporan-laporan mengenai pembantaian yang berlangsung itu disampaikan
kepada para perwira senior Israel dan bahkan kepada seorang menteri di kabinet
Israel. Karena itu, Komisi menyimpulkan bahwa Israel ikut "bertanggung
jawab secara tidak langsung". Di antara mereka yang dianggap
"bertanggung jawab secara tidak langsung", komisi itu menyimpulkan bahwa
Ariel Sharon bertanggung jawab "secara pribadi", dan mengusulkan agar
ia dipecat dari kedudukannya sebagai menteri pertahanan. Komisi juga
merekomendasikan pemecatan Direktur Intelijen Militer Yehoshua Saguy, dan
penurunan pangkat atas Komandan Divisi Amos Yaron sekurang-kurangnya selama
tiga tahun. Rekomendasi-rekomendasi ini dilaksanakan. Meskipun Komisi Kahan
menyimpulkan bahwa Sharon tidak boleh mengemban jabatan publik lagi, belakangan
ia menjadi Perdana Menteri Israel
Para kritikus laporan komisi itu menunjukkan kenyataan bahwa Israel
melakukan investigasi atas dirinya sendiri dan berpendapat bahwa laporan itu
merupakan upaya untuk membersihkan nama Israel. Misalnya, Noam Chomsky
mengatakan:
"Laporan Komisi Kahan ini adalah upaya pembersihan nama yang
memalukan; lihat Fateful Triangle, chapter 6, and Shimon Lehrer, Ha'ikar
Hehaser ("The Missing Crucial-Point"; Amit, Jerusalem, 1983). Dalam
analisis kritis yang cermat terhadap kejadian-kejadian sekitar pembantaian itu
dan laporan Komisi Kahan, Lehrer memperlihatkan bahwa kesimpulan-kesimpulannya
tidak dapat dipertahankan dan berpendapat bahwa, di bawah hukum Israel, Menteri
Pertahanan dan Kepala Staf mestinya diganjar hukuman penjara selama 20 tahun
atas pembunuhan terencana. Sementara dikritik tajam di Israel, di AS, laporan
Komisi Kahan itu digambarkan, tanpa analisis, sebagai laporan yang paling
mengesankan dan bahkan hampir menakjubkan."
Sebagian komentator, seperti Noam Chomsky dan Robert Fisk, menyatakan bahwa
Israel mestinya dapat mencegah pembantaian itu. Lebih jauh, mereka meragukan
bahwa di kamp-kamp itu memang ada anggota PLO, karena:
1. Komisi Kahan mengklaim bahwa pasukan Israel hanya mengirim 150 orang
Falangis untuk memerangi anggota PLO yang konon jumlahnya 2.000 orang. Ini
tentu suatu keputusan militer yang tidak realistik dan buruk.
2. kaum Falangis hanya menderita dua korban, sebuah hasil yang tidak
mungkin terjadi dalam sebuah pertempuran yang berlangsung selama 36 jam antara
150 orang militan melawan 2.000 pasukan PLO yang berpengalaman.
Para pembela Israel menunjukkan bahwa Israel tidak pernah mengklaim bahwa
semua anggota PLO (dan bukan para militan Fatah) itu bersenjata atau berusaha
menyusun suatu pertahanan. Selain itu, pada beberapa kesempatan sebelumnya,
kaum Falangis digunakan oleh tentara Israel untuk menyaring para anggota PLO
dari sisa penduduk Lebanon. Mereka mengklaim bahwa pada kesempatan-kesempatan
lain itu, kaum Falangis berperilaku baik. Israel menunjukkan bahwa komandan
lapangan Falangis, Elie Hobeika, pada saat itu sudah memelihara hubungan dengan
Suriah (ia secara terbuka mengalihkan kesetiaannya kepada Suriah), hingga
memberikan kesan bahwa ia mungkin telah menciptakan pembantaian itu sebagai
sebuah provokasi politik terhadap sekutu-sekutu Israelnya. Akhirnya, Israel
menyatakan bahwa ia tidak pernah mengeluarkan perintah (pada kesempatan ini
maupun yang lainnya) yang akan mengizinkan pembunuhan terhadap kaum sipil yang
tidak bersenjata.
Namun demikian, Israel telah memberikan komitmen tertulis bahwa ia akan
melindungi kaum sipil Palestina (sebagai tanggung jawabnya sebagai kekuatan
pendudukan di bawah hukum internasional), namun Israel tidak melakukan apa-apa
untuk melindungi warga sipil ketika ia sadar bahwa pembantaian sedang
berlangsung.
Pada 4 Februari 1983, Der Spiegel (sebuah majalah Jerman terkemuka) memuat
sebuah wawancara dengan salah seorang falangis yang ikut serta dalam
pembantaian itu. Menurut orang ini, para pasukan Israel berperang bersama-sama
kaum falangis serta mengebomi kamp itu untuk menolong mereka mengatasi
perlawanan Palestina.
Pada 1987, "Time" menerbitkan sebuah laporan yang menyiratkan
bahwa Sharon bertanggung jawab secara langsung atas pembantaian-pembantaian
itu. Sharon menuntut Time dengan tuduhan pencemaran di pengadilan Amerika dan
Israel. Time memenangi tuntutan itu di pengadilan AS karena Sharon tidak dapat
membuktikan bahwa Time telah "bertindak dengan maksud jahat,"
sebagaimana yang diharuskan di bawah undang-undang pencemaran AS, meskipun para
juri merasa bahwa artikel itu keliru dan mencemarinya.
Israel mulai meninggalkan Beirut tak lama setelah berita tentang
pembantaian itu menyebar. Perlindungan kamp-kamp itu dipercayakan kepada
Italia. Setelah sejumlah serangan atas pasukan penjaga perdamaian, Italia
meninggalkan Lebanon. Keamanan kamp-kamp itu kemudian dipercayakan kepada
milisi Amal.
Setelah terpilihnya Sharon pada tahun 2001 sebagai Perdana Menteri Israel,
kaum keluarga para korban pembantaian ini mengajukan tuntutan di Belgia dan
menuduh bahwa ia secara pribadi bertanggung jawab atas pembantaian-pembantaian
itu, dengan menggunakan undang-undang yang pertama kali digunakan terhadap
mereka yang terlibat dalam Genosida Rwanda. Mahkamah Agung Belgia memutuskan
pada 12 Februari 2003 bahwa Sharon (dan mereka yang terlibat lainnya, seperti
Jenderal Yaron dari israel) dapat dikenai tuntutan di bawah tuduhan ini. Israel
mengklaim bahwa tuntutan ini dilakukan dengan alasan-alasan politis.
Sebuah kasus lain diajukan di Belgia yang menyatakan bahwa Presiden George
H. W. Bush dan Menteri Luar Negeri Colin Powell bertanggung jawab atas
kejahatan-kejahatan perang dalam Perang Irak pertama. AS mempertanyakan
yurisdiksi pengadilan Belgia untuk mengadili kejahatan-kejahatan perang yang
dilakukan di tempat lain, dan meminta sekutu-sekutu Eropanya untuk menekan
Belgia serta mengancam untuk memindahkan markas besar NATO dari Belgia. Selain
itu sejumlah kasus lainnya terhadap para pemimpin dunia, seperti Fidel Castro,
Augusto Pinochet, dan Yasser Arafat, juga diajukan di pengadilan Belgia, hingga
menimbulkan sejumlah masalah diplomatik. Akhirnya Belgia mengamandemen hukumnya
dan menyatakan bahwa pengaduan-pengaduan hak asasi manusia hanya bisa diajukan
apabila korban atau tertuduhnya adalah warga Belgia atau sudah lama menjadi
penduduk negara itu pada waktu kejahatan yang dituduhkan itu terjadi. Parlemen
Belgia juga menjamin kekebalan diplomatik bagi para pemimpin dunia dan pejabat
pemerintahan lainnya yang berkunjung ke negara itu.
Elie Hobeika, komandan Falangis pada waktu pembantaian itu tidak pernah
diadili dan ia memegang jawaban menteri di pemerintahan Lebanon pada tahun
1990-an. Ia dibunuh dengan sebuah bom mobil di Beirut pada 24 Januari 2002,
sementara ia bersiap-siap untuk memberikan kesaksian dalam sebuah peradilan
Sharon.
Pada 24 September 2003, pengadilan tertinggi Belgia menolak pengaduan
kejahatan perang terhadap Ariel Sharon, dan menyatakan bahwa pengaduan itu
tidak mempunyai basis hukum untuk dijadikan tuntutan.
Disini dapat dilihat peran mahkamah pengadilan hukum internasional tidak
menjalankan pencegahan serta pengadilan yang adil terhadap kasus genosida.
Alasannya karena beberapa negara menolak amnesti yang diberikan oleh mahkamah
pengadilan bagi para pelaku pelanggaran berat hak asasi manusia. Mereka menilai
bahwa mengadili pelaku kejahatan tidak menjamin akan terulangnya kejadian yang
serupa di masa depan.
Beberapa sumber kewajiban untuk mengadili terdapat dalam konvensi
internasional yang menyatakan bahwa Hak negara untuk memberikan amnesti
terhadap suatu kejahatan dapat dilangkahi oleh perjanjian yang ditandatangani
negara tersebut. Seperti dijelaskan Pasal 27 Konvensi Wina tentang Hukum
Perjanjian, “salah satu pihak tidak boleh menggunakan ketentuan hukum nasionalnya
sebagai justifikasi atas kegagalannya menaati sebuah perjanjian.” Beberapa
konvensi yang diberlakukan diantaranya adalah konvensi jenewa 1949, konvensi
genosida, dan konvensi penyiksaan. Konvensi-konvensi tersebut diberlakukan
untuk pemberian amnesti terhadap orang-orang yang memiliki kriteria sesuai
definisi dalam konvensi tersebut yang dinegosiasikan dalam konteks perang
dingin, jadi konvensi tersebut diberlakukan hanya dalam situasi tertentu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar